![]() |
Ilustrasi Tokoh Ibnu Nafis (sumber: https://www.noonpresse.com) |
‘Alauddin ‘Ali Ibnu Abi Hazm
al-Qarasyi ad-Dimasyqi al-Mashri as-Syafi’i adalah nama lengkap Ibnu Nafis[1]. Dia lahir di desa Qarasyi,
yang terletak di salah satu sudut kota Damaskus. Dia lahir pada tahun 607 H
atau bertepatan dengan tahun 1208 M dan wafat di Kairo pada Jum’at, 21
Dzulqa’dah, tahun 687 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1288 M[2].
Setelah meninggal dunia, seluruh harta, kitab-kitab
hasil karyanya dan juga tempat tinggal milik Ibnu Nafis diwakafkan kepada rumah
sakit Bimaristan al-Manshura. Keputusan tersebut sesuai dengan wasiat yang dia
tinggalkan sebelum wafat[3]. Ketika dia wafat, dia belum sempat melengkapi karya
ensiklopedia ilmu Kedokteran karangannya yang berjudul “al-Syâmil fi
al-Shinâ’ah al-Thibbiyyah” yang baru selesai dia tulis sebanyak 80 jilid,
bagaimanapun juga, jika melihat daftar isi dari ensiklopedia tersebut,
seharusnya karya terebut baru selesai setelah tertulis sebanyak 300 jilid,
namun hal itu tidak dapat terealisasikan. Terdapat sebuah perkataan dari Ibnu
Nafis yang tercatat dalam lembaran sejarah mengenai karya-karya ilmiahnya yang
berbunyi: “Jika aku tidak mengetahui bahwasanya kitab-kitab karanganku dapat
bertahan hingga sepuluh ribu tahun, niscaya aku sama sekali tidak akan
menuliskannya”[4].
Sebagian kitab-kitab yang dikarang oleh Ibnu Nafis
berhasil ditemukan dari berbagai sumber kitab turats di wilayah Arab,
khususnya di Damaskus dan Kairo. Kitab-kitab tersebut terdokumentasikan
dalam bentuk manuskrip-manuskrip bertuliskan Arab kuno. Kebanyakan dari
manuskrip tersebut, kini tersimpan dan teramankan di dalam perpustakaan di
berbagai negara di dunia. Beberapa dari manuskrip-manuskrip ini ada yang sudah
ditahkik, dikumpulkan dan dicetak oleh para peneliti untuk dapat menjadi sebuah
kitab yang komprehensif. Hal ini dimaksudkan agar ilmu yang terdapat didalamnya
dapat dikaji dan dipelajari oleh para akademisi yang hidup di zaman sekarang.
Kendati demikian, hingga saat ini jumlah karangan hasil karyanya yang belum
ditemukan masih sangat banyak dan masih dalam proses pencarian. Adapun beberapa
kitab-kitab yang berhasil sampai ke zaman kita saat ini adalah; Syarḥ
Mufradât al-Qânǔn, Syarḥ
al-Qânǔn,
Al-Syâmil fî al-Thibb, Syarḥ Tasyrîh al-Qânǔn, dan
al-Mǔjaz fî
al-Thibb. Kitab-kitab yang
disebutkan diatas adalah kitab-kitab karangan Ibnu Nafis yang dianggap paling
mewakili latar belakangnya di bidang Kedokteran.
Ibnu Nafis seperti yang telah kita ketahui,
mengkhususkan kegiatan akademisnya dalam bidang ilmu Kedokteran disamping
penguasaannya dalam berbagai bidang ilmu yang lainnya. Sebagai seorang praktisi
di bidang Kedokteran, dia banyak berkontribusi dalam sejarah perkembangan ilmu
Kedokteran selama masa kehidupannya. Bentuk kontribusinya yang paling dapat
dikaji dan diamati tertuang dalam berbagai kitab hasil karangannya. Hampir
seluruh karya ilmiah yang dia hasilkan dari penanya, mayoritas bermaterikan
ilmu Kedokteran. Hal tersebut tentunya menunjukkan kedalaman pemahaman serta
penguasaannya yang tinggi dalam bidang ilmu tersebut. Atas segala jasa dan
pengaruhnya dalam bidang Kedokteran, Ibnu Nafis pun layak dianggap sebagai
“Bapak Kedokteran Islam”. Hal ini juga dikarenakan teori-teori serta
pemikirannya mengenai ilmu Kedokteran tidak semata-mata merujuk pada warisan
ilmu Kedokteran yang telah ada sebelumnya, dia juga melakukan berbagai macam
praktik pembedahan, pengamatan, serta penelitian yang mana hasil dari usaha
tersebut mampu menyanggah berbagai teori yang telah diyakini kebenarannya oleh mayoritas
para dokter yang hidup di masa kehidupannya[5].
Salah satu teori yang disanggah oleh Ibnu Nafis dalam
kitab al-Qanun fi al-Thibb karangan Ibnu Sina adalah sistem sirkulasi
darah yang terjadi di area jantung serta pendeskripsian jantung itu sendiri.
Sanggahan tersebut terdokumentasikan di dalam kitab Syarḥ
Tasyrîḥ al-Qânǔn yang merupakan hasil karangan Ibnu Nafis yang paling
dikenal saat ini. Di dalam kitab tersebut, Ibnu Nafis berhasil menjelaskan
secara tepat sistem sirkulasi darah di jantung yang berhubungan dengan
paru-paru sebagai satu kesatuan sistem yang saling melengkapi. Dalam kitab Syarḥ
Tasyrîh al-Qânǔn
tersebut, Ibnu Nafis menjelaskan beberapa hal mengenai sistem sirkulasi darah
manusia, di antara penjelasannya adalah:
- Tugas utama bagi jantung adalah revitalisasi organ tubuh. Hal tersebut dilakukan dengan cara penggabungan darah yang sangat tipis (dikarenakan sedikitnya kadar udara di dalamnya) dengan udara yang berasal dari paru-paru yang kemudian hasil dari penggabungan tersebut disebarkan ke seluruh tubuh melalui jantung sebelah kiri. Sistem ini juga berhubungan dengan peristiwa kontraksi dan relaksasi jantung [6].
- Harus ada penghubung antara jantung dengan paru-paru agar proses mekanisme penggabungan darah dengan udara dapat terjadi. Penghubung tersebut haruslah berada di bagian jantung sebelah kanan, karena letak organ hati yang merupakan tempat dilakukannya proses sintesis darah berada di bagian tubuh sebelah kanan[7].
- Setelah darah berhasil sampai ke paru-paru melalui penghubung yang bersambung antara jantung bagian kanan dan paru-paru, haruslah ada jalur yang menghubungkan antara paru-paru dengan jantung bagian kiri yang merupakan tempat darah berudara di sebarkan ke seluruh tubuh[8].
- Tidak mungkin terdapat penghubung terlihat maupun penghubung tak terlihat yang terletak tepat diantara jantung sebelah kanan dan jantung sebelah kiri seperti halnya yang diyakini oleh Galenus dan kebanyakan orang. Tidak ada penghubung berupa pori-pori yang ada diantara dua bagian jantung tersebut[9].
- Darah yang telah bercampur dengan udara, langsung menuju ke jantung bagian kiri melaui “al-Syaryân al-Wâridî” atau Pulmonary Vein yang mana darah tersebut sudah siap untuk dialirkan ke seluruh tubuh. Sementara sisa darah yang tidak dialirkan kembali ke jantung yang mana berguna sebagai nutrisi bagi paru-paru[10].
- Masing-masing dari “al-Syaryân al-Wâridî” atau Pulmonary Vein dan “al-Wârid al- Syaryânî” atau Pulmonary Artery hanya memiliki satu arah lintasan yang tetap. “al-Wârid al-Syaryânî” merupakan jalur penghubung antara jantung bagian kanan menuju paru-paru sementara “al-Syaryân al-Wâridî” merupakan jalur penghubung antara paru-paru menuju jantung bagian kiri[11].
- “al-Syaryân al-Wâridî” bertekstur lebih tipis, dimaksudkan agar dapat memudahkan penerimaan aliran darah berudara yang berasal dari paru-paru menuju ke jantung bagian kiri, dan bukan dimaksudkan untuk memancarkan darah lembut seperti yang diyakini oleh kebanyakan orang sebelumnya[12].
- “al-Syaryân al-Wâridî” sedikit memiliki kesamaan sifat dengan pembuluh vena dan pembuluh arteri. Kesamaan yang terletak pada pembuluh vena adalah sama-sama bertindak sebagai jalur untuk mengirimkan darah sebagai nutrisi bagi organ tubuh. Sedangkan kesamaan yang terletak pada pembuluh arteri adalah sama-sama berdetak atau berdebar selama melakukan aktifitasnya[13].
- Pembuluh darah yang berada di paru-paru berbeda dengan karakteristik pembuluh darah yang ada di seluruh tubuh. Pada dasarnya, pembuluh darah yang mengelilingi organ tubuh yang keras memiliki dua lapisan, sementara untuk pembuluh darah yang mengelilingi organ tubuh yang lunak hanya memiliki satu lapisan. Namun, justru pembuluh darah di paru-paru berkarakteristik tebal atau memiliki dua lapisan padahal paru-paru sendiri adalah organ yang lunak[14].
- “al-Wârid al-Syaryânî” atau Pulmonary Artery memiliki dua lapisan yang membuatnya lebih tebal dari “al-Syaryân al-Wâridî”. Hal itu dimaksudkan agar arus aliran darah yang menuju ke paru-paru menjadi lebih keras dan kuat[15].
- Jantung hanya memiliki dua wadah pusat yang salah satunya berisikan darah minim udara di bagian kanan dan di bagian kiri berisikan darah penuh dengan udara. Tidak seperti pemaparan Ibnu Sina yang mendeskripsikan bahwa jantung memiliki tiga wadah pusat[16].
- Jantung mendapatkan nutrisinya dari pembuluh darah yang terdapat di dalamnya, bukan dari gudang penyimpanan nutrisi di bagian jantung sebelah kanan sebagaimana teori yang berkembang dan banyak diketahui orang pada sebelumnya[17].
Dari sekian
banyak penjelasan yang dipaparkan oleh Ibnu Nafis di atas, sangat terlihat di sana
pendalaman dan penguasaan yang sangat baik dari Ibnu Nafis perihal sistem
sirkulasi darah manusia. Hal tersebut merupakan buah usahanya dalam melakukan
berbagai pengamatan, penelitian, serta praktik pembedahan yang dibutuhkan dalam
suatu usaha pencarian kebenaran yang hakiki dari suatu teori. Walaupun para
dokter di masa Ibnu Nafis banyak yang tidak mengindahkan dan mengapresiasi
hasil pengamatannya dalam pencarian suatu fakta tentang sistem sirkulasi darah,
hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk terus berusaha melakukan berbagai
penelitiannya, dengan keyakinan bahwa suatu fakta yang merupakan hasil dari
jerih payah penelitian, tidak akan pernah ditelan oleh zaman. Dan hal ini pun
terbukti, di awal abad ke 21 masehi atau 9 abad setelah masa kehidupan Ibnu
Nafis, teori-teorinya mengenai sistem sirkulasi darah kecil manusia tetap
dipertahankan dan dipatenkan sebagai bentuk apresiasi dunia terhadap suatu
kontribusi yang sangat luar biasa bagi seorang ulama sekaligus cendekiawan di
bidang ilmu Kedokteran.
Di dalam
buku-buku pegangan para akademisi bidang Kedokteran saat ini, termuat di
dalamnya buah penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Ibnu Nafis.
Contohnya bisa kita amati dalam buku Textbook of Medical Phisiology yang
dikarang oleh John. E. Hall yang diterbitkan pada tahun 2011. Di dalam bab
sistem sirkulasi darah, dipaparkan suatu penjelasan mengenai hal tersebut yang
berbunyi: “...Pulmonary artery (yang mana menerima darah dari bilik kanan
jantung) dan juga percabangan pembuluh darah arterinya bertugas mengalirkan
darah menuju pembuluh darah kapiler alveolus dengan tujuan untuk melakukan
proses pertukaran gas, sedangakan pulmonary veins bertugas mengembalikan darah
dari paru-paru menuju serambi kiri jantung untuk segera dipompakan oleh bilik kiri
jantung sebagaimana yang semestinya
terjadi dalam sistem sirkulasi darah” [18].
Atas jasa Ibnu
Nafis dalam mengembangkan ilmu Kedokteran terutama perihal penjelasan beliau
yang sangat tepat mengenai sistem
sirkulasi darah, dia saat ini telah diakui sebagai penemu “Sistem Sirkulasi
Darah Kecil Manusia” yang sebelumnya predikat tersebut disematkan kepada
seorang ilmuwan berkebangsaan Inggris bernama William Harvey (1578-1657 M). Hal
ini kemungkinan besar dikarenakan ketidaktahuan para akademisi barat mengenai
jasa-jasa Ibnu Nafis selama masa kehidupannya sebagai seorang dokter[19].
[1] Alauddin Ali Ibnu
Abi al-Hazm atau Ibnu Nafis, Risâlatu al-A’dhôi, ditahkik oleh Youssef Zeedan, al-Dâr
al-Mashriyyah al-Lubnâniyyah, Kairo, 1991, hal. 16
[2] Alauddin Ali Ibnu Abi al-Hazm atau Ibnu Nafis (Youssef Zeedan
sebagai pentahkik), loc. cit.
[3] Abdul Fattah Abu Gadah, Qîmah al-Zamani ‘Inda al-‘Ulamâi, Dâr
al-Salâm,
2015, Kairo, hal. 130
[4] Alauddin Ali Ibnu Abi al-Hazm atau Ibnu Nafis (Youssef Zeedan
sebagai pentahkik), op. cit., hal. 23
[5] Ali Ibnu Abdillah ad-Difa’,
Ruwwâdu ‘Ilmi al-Thibb fî’ al-Ḥadlârah
al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, Muassasah al-Risâlah Nâsyirǔn Dâr
al-Basyîr, Kairo, 2007, hal. 88
[6]
Alauddin Ali Ibnu Abi al-Hazm (Ibnu Nafis), Syarḥu Tasyrîḥ al- Qânǔn, li ibn Sînâ, to PDF:
http;//www. Al-Mostafa.com, hal. 152
[7]
Ibid, hal. 213
[8]
Loc.cit., hal. 152
[9]
Loc.cit.
[10]
Loc.cit.
[11]
Loc.cit.
[12] Loc.cit.
[13] Ibid, hal. 151
[14] Loc.cit.
[15] Loc.cit., hal. 152
[16] Ibid, hal. 215
[17] Loc.cit.
[18] John E. Hall, op. cit., hal. 509
[19] Hakim Muhammad
Sa’id, ‘A’alâm wa al-Mufakkirǔn, al-Akâdimiyyah al-Islâmiyyah, Yordania,
2001, hal. 28
Oleh: M Nur Taufiq Alhakim
Editor: Abdul Fatah Amrullah
Oleh: M Nur Taufiq Alhakim
Editor: Abdul Fatah Amrullah
No comments:
Post a Comment