
Thursday, November 29, 2018
![]() |
Gambar ilustrasi Syeikh Ibn 'Atha'illah as-Sakandari |
Imam Ibn 'Atha'illah As-Sakandari
Mungkin tak
banyak yang tahu perihal siapa yang disebut dengan Sidi Abu al-Abbas al-Mursi. Beliau adalah salah satu ulama dari negeri Mesir
legendaris yang dimakamkan di kota Alexandria. Beliau
menjadi seorang pemimpin tarekat Syadzuliyyah yang alim dan bijaksana pada
masanya. Ibnu 'Atha'illah as-Sakandari termasuk salah satu muridnya dari tiga
murid lainnya yang mendapatkan kemasyhuran dan tempat yang sama-sama mulia di sisi
Allah Swt. Dua murid lainnya yaitu Sidi Yakut Al-Arsy, dia adalah murid yang dipilih langsung oleh sang Guru
untuk menjadi khalifah musyid tarekat dan seorang lagi ialah Imam al-Busyiri
pengarang kasidah kitab al-Burdah, sebuah kitab yang berisi
pujian dan keutamaan Rasulullah Saw. yang terus menerus dibaca dan mendapatkan
keutamaan hingga saat ini oleh umat Islam.
Sesuai namanya, Imam Tajuddin wa Tarjuman al-Arifin Abu al-Fadl Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Abd Rahman bin Abdillah bin Ahmad
bin Isa bin Husain bin 'Atha'illah al-Jazami as-Sakandari atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Imam Ibn 'Atha'illah as-Sakandari merupakan salah satu ulama yang masyhur di kalangan ahli
tasawuf. Nama beliau dinisbahkan kepada
tanah kelahirannya, Alexandria. Beliau lahir di kota Alexandria pada tahun 658 H/1259 M dan
wafat di Kairo, atau di kawasan Gunung Muqattam, sebelah Tenggara Kairo, pada tahun 709 H/1309 M. Lebih tepatnya beliau
wafat di Madrasah al-Manshuriyah yang berada di pedalaman Maristan al-Kabir
yang dibangun oleh Malik Manshur Saifuddin Qalawun al-Alfa as-Shalihi (678
H/1689 M).
Mengenai hari wafat beliau, Imam as-Subki
menyebutkan bahwa beliau wafat pada pertengahan bulan Jumadi al-Akhir, dan pada
saat itu beliau berumur lima puluh empat tahun. Sedangkan Imam as-Suyuti
menetapkan hari wafat beliau adalah, bahwa beliau wafat pada tiga belas Jumadi
al-Akhir tahun 709 H/19 November 1309 M.
Bangkitkan Cinta Dalam Jiwa Pecinta
Salah satu keutamaan Ibn 'Atha'illah as-Sakandari
adalah dirinya mampu membangkitkan jiwa manusia melalui kalam hikmahnya yang begitu mendalam. Kalam-kalam hikmah
tersebut dapat ditemui dalam magnum octopus-nya al-Hikam. Di antara tujuan dari karangan ini adalah agar
manusia senantiasa hidup bersama cinta Tuhannya dan mampu
menuangkan cinta agung dalam realisasi kehidupan. Buku itu masih dapat dirasakan
manfaatnya oleh umat Islam hingga zaman
ini.
Dikatakan, Ketika berguru kepada Sidi Abu al-Abbas al-Mursi Imam Ibn 'Atha'illah as-Sakandari
meminta kepada gurunya agar diberikan keutamaan cinta dan kemuliaan disisi
Allah Swt. Begitu beruntungnya beliau, karena pada saat itulah Sidi Abu
al-Abbas al-Mursi mendoakan muridnya itu sesuai dengan permohonannya. Hingga
pada akhirnya beliau mampu mendapatkan keutamaan cinta di sisi Allah swt melalui
karangannya. Bahkan cinta itu bukan hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi cinta itu juga dirasakan oleh umat
Islam di seluruh jagat raya tanpa memandang sebuah golongan.
Salah satu hikmah dalam kitab al-Hikam yang begitu
menampar jiwa yang lemah untuk melakukan maksiat karena rela akan dirinya terjerumus
pada maksiat itu sendiri tertuang dalam hikmah no 35:
أصل
كل معصية وغفلة وشهوة؛ الرضا عن النفس. و أصل كل طاعة ويقظة وعفة؛ عدم الرضا منك
عنها. ولئن تصحب جاهلا لايرضي عن نفسه خير لك من أن تصحب عالما يرضي عن نفسه. فأي
علم لعالم يرضي عن نفسه وأي جهل لجاهل لا يرضي عن نفسه
Dalam hikmah ini Ibnu Ajibah menuturkan bahwa
barang siapa yang rida terhadap hawa nafsunya sesungguhnya dia telah menjadikan
hawa nafsu tersebut baik di hadapannya, sekaligus menutup pandangan buruk
keburukan-keburukannya, kebalikannya jika ia menganggap buruk hawa nafsu dan
melihatnya dengan pandangan negatif, sesungguhnya ia telah mencari akan
kesalahan dan aib dirinya sendiri. Maka di sini Ibnu Ajibah memberikan wasiat
agar kita sendiri yang menelaah kesalahan dan dosa yang telah kita lakukan, dan
jangan sampai memberikan sedikitkpun penilaian positif terhadapnya, karena jika
sedikit saja anggapan baik muncul dalam hati terkait dosa dan maksiat, ia akan
menggiring pada kesalahan dan dosa lainnya sedangakan diri kita tidak
merasakannya.
Manuskrip Al-Hikam
Tidak sedikit ulama yang men-syarah kitab al-Hikam milik Ibn 'Atha'illah as-Sakandari. Bukan hanya dalam bahasa arab, bahkan
bahasa turki, melayu dan bahasa lainnya. Dr. Zaki Mubarak, di dalam kitabnya
at-Tashowuf al-Islami fi al-Adab wa al-Akhlaq mengungkapkan :
"Bahwa al-Hikam al-Athaiyah telah dikaji oleh para pembesar-pembesar Ulama al-Azhar as-Syarif pada zaman kita ini, di antara para
masyaikh yang mengkajinya adalah as-Syaikh Muhammad Bukhait (Mantan Mufti Mesir), beliau mengkaji kitab al-Hikam di
Masjid Imam al-Husain
bin Ali ra setiap selesai salat ashar pada bulan Ramadhan.
Disebutkan juga bahwa Ibn 'Atha'illah as-Sakandari
turut hadir dalam majelis di waktu berlangsungnya pengajian.
Dr. at-Taftazani dalam Kitabnya Ibn 'Atha'illah as-Sakandari, menyebutkan bahwa, syarah-syarah al-Hikam
terorganisir sesuai urutan zaman, dan hingga saat ini syarah al-Hikam kurang
lebih mencapai dua puluh empat syarah. Salah satu ulama kontemporer yang turut men-syarah
kitab al-Hikam adalah Syeikh Muhammad Said Ramadhan al-Bouty, ulama
karismatik dari negeri Suriah, karangan beliau dapat ditemukan di percetakan
Darul Fikr, Damaskus. Banyak ulama yang memuji dan merekomendasikan syarah yang
ditulis oleh beliau. Begitulah kiranya sekilas tentang kitab al-Hikam al-Athaiyah, karangan Imam Ibn 'Atha'illah As-Sakandari dengan beberapa syarah-nya dan pengaruhnya yang terus
kekal dan abadi sejak abad ke delapan Hijriyah hingga sekarang.
Editor: Albi Tisnadi
0 Response to "Manuskrip Hikmah dalam Al-Hikam Ibnu 'Atha'illah As-Sakandari"
Post a Comment