![]() |
Doc. Atdik KBRI Kairo |
Informatika Mesir, Kairo (12/06). Kemenag RI menyatakan 1.468 (Seribu Empat
Ratus Enam Puluh Delapan) peserta lulus dalam seleksi non-beasiswa ke
Universitas al-Azhar Mesir 2017. Dalam pengumumannya di poin 6 Mesir, peserta
wajib tinggal di Asrama Indonesia-Mesir selama setahun pertama dan dikenakan
biaya sebesar $ 50 perbulan untuk uang makan tiga kali sehari, pembinaan dan
pengelolaan. Biaya tersebut dibayar setahun sekaligus sebelum pemberangkatan.
Kebijakan baru ini rupanya
menyulut pertanyaan di benak Masisir, terutama perihal biaya yang relatif tak
sedikit. Menanggapi hal tersebut, Atase Pendidikan KBRI Kairo, Dr. Usman
Syihab, MA., menjelaskan, bahwa pada dasarnya pembangunan asrama ini merupakan upaya
Pemerintah Indonesia untuk mengapresiasi jasa Al-Azhar yang sangat besar kepada
masyarakat Indonesa sepanjang sejarah, dimana Al-Azhar telah banyak mencetak
tokoh dan pemimpin Bangsa Indonesia. Selain itu, didorong pula oleh kondisi
mahasiswa Indonesia di Mesir yang beberapa tahun ini menghadapi berbagai
gangguan keamanan yang lumayan serius. Dengan adanya asrama ini, diharapkan
sebagian besar persoalan mahasiswa—terutama masalah keamanan—dapat teratasi.
Untuk itu, meskipun asrama tersebut merupakan hibah Pemerintah RI kepada
Al-Azhar, Indonesia tetap meminta kepada Al-Azhar agar mahasiswa Indonesai
selamanya dapat menempati asrama tersebut. Dari sinilah muncul angka, bahwa
komposisi penghuni asrama Indonesia adalah fifty-fifty antara mahasiswa
Indonesia dan Mesir. Selain itu, dengan adanya pembauran ini, diharapkan
pergaulan mahasiswa Indonesia semakin luas dengan rekan-rekannya dari Mesir dan
kemampuan bahasa Arab mereka pun akan semakin terlatih.
Rencana pembangunan asrama ini, menurut Atdik, telah
dirancang sejak zaman AM. Fachir menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia
untuk Mesir. Setelah asrama selesai dibangun dengan sangat bersusah payah,
persoalan lain yang masih diupayakan penyelesaiannya adalah perihal: pihak mana
yang akan menanggung biaya makan para penghuni? Di awal perencanaan (tahun
2009), ketika Pak AM Fachir membicarakan pembangunan asrama tersebut dengan
Rektor Al-Azhar (saat itu dijabat oleh Prof. Dr. Ahmad el-Thayyeb), ada harapan
bahwa Al-Azhar akan menanggung biaya makan penghuni asrama, sebagaimana di
asrama Madinatul Bu’uts. Pada perjalanannya, sebelum asrama Indonesia selesai
dibangun, tak lama kemudian Prof. Dr. Ahmad el-Thayyeb diangkat menjadi Grand
Syaikh Al-Azhar (Syaikhul Azhar), padahal kewenangan asrama tersebut
sepenuhnya berada di tangan Rektor, karena ia berada di tanah komplek
Universitas.
Pada akhir tahun 2010, mulailah ada dana yang masuk untuk
pembangunan asrama, yaitu: Rp 14 M dari Kemenag RI dan Rp 5 M dari Pemprov.
Sumatera Utara. Artinya, saat itu terkumpul RP 19 M dari sekitar Rp 45 M total dana
yang dibutuhkan. Ketika KBRI dan Al-Azhar bersiap-siap memulai pembanguna
asrama tersebut, pada Januari 2011
terjadi revolusi Mesir yang mengakibatkan suasana keamanan tidak menentu dan
berujung pada krisis ekonomi di Mesir. Al-Azhar pun terkena langsung dampak
krisis ini, sehingga pembangunan asrama terpaksa harus dipending.
Pada
awal 2012, KBRI dan Al-Azhar bersepakat memulai pembangunan asrama yang masih
kurang tersebut. Setelah KBRI melakukan berbagai upaya penambahan dana
tersebut, akhirnya keluarlah Keputusan
Presiden (KEPPRES) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Hibah
Pemerintah Dalam Rangka Pembangunan Asrama Mahasiswa Indonesia Di Kampus
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir sebesar U$D 2.943.926.18 (dua juta sembilan ratus empat puluh tiga
ribu sembilan ratus dua puluh enam delapan belas sen dollar Amerika). Jumlah tersebut menutupi seluruh
sisa kebutuhan pembangunan asrama.
Menjelang asrama tersebut selesai, KBRI melakukan
pertemuan dengan Rektor Al-Azhar dan para penasehat Grand Syaikh di kantor
Rektor Al-Azhar. Pada pertemuan tersebut mulai dibahas perihal mekanisme
penempatan dan pihak mana yang akan menananggung biaya makan penghuni asrama.
Saat itu terjadi diskusi sangat alot antara para penasehat Grand Syaikh dengan
Rektor dan wakil Rektor mengenai siapa yang akan menanggung biaya tersebut. Pertemuan
tersebut menyelesaikan beberapa persoalan teknis, kecuali perihal pihak mana
yang akan menangung biaya makan? Persoalan ini pun dipending untuk dibicarakan
pada pertemuan berikutnya.
Setelah diadakan beberapa pertemuan, akhirnya Al-Azhar
menyatakan tidak siap menangung 1200 penghuni asrama Indonesia yang 600 di
antaranya adalah mahasiswa Indonesia. Al-Azhar pun meminta kepada KBRI, agar
Pemerintah RI yang menangung biaya tersebut.
Agar tidak membebani siapapun, KBRI pun meminta agar
Pusat bersedia menangung biaya makan tersebut. Usulan yang disampaikan KBRI
adalah: pembiayaan total kebutuhan makan 1200 penghuni yang setiap tahunnya
mencapai Rp 9 M atau jika ini memberatkan, KBRI meminta agar Pusat menangung
sebanyak Rp 4,5 Milyar atau setengah biaya total makan penghuni asrama, yaitu
untuk 600 mahasiswa Indonesia saja. Jika dua alternative ini tidak mungkin, alternatif
lain yang ditawarkan KBRI adalah agar pemerintah Indonesia menghibahkan
sepenuhnya asrama tersebut ke pihak Al-Azhar.
Pada pertemuan Desember 2016, pihak al-Azhar menegaskan
kembali, pihaknya tidak dapat menanggung biaya makan penghuni asrama. Di antara
alasannya, kondisi ekonomi Mesir yang lemah dan letak asrama yang bukan di
kawasan kekuasaan Grand Syaikh atau Madinah Buuts, melainkan di kawasan
rektorat Madinat Nasr. Alasan selanjutnya, tuturnya, al-Azhar telah banyak
memberi beasiswa pada mahasiswa Indonesia dan kali ini mereka mohon agar
Indonesia mengurus sendiri mahasiswanya. "Dalam pertemuan itu dibahas juga
asrama akan mulai difungsikan pada tahun ajaran 2017/2018," papar Atdik.
Pertemuan kembali digelar dengan fokus bahasan biaya
makan asrama. Lagi-lagi, pertemuan ini tidak mencapai kesepakatan, sebab KBRI
dan Al-Azhar sama-sama tidak sanggup menanggung biaya makan penghuni asrama.
Setelah diskusi panjang lebar, Penasehat
Grand Syaikh Al-Azhar mengusulkan agar biaya makan ditanggung oleh para
penghuni. Kemudian dua belah pihak pun berunding perihal angka yang harus
dibayar perindividu. Pemerintah Indonesia sendiri berusaha menekan harga agar
meringankan pelajar. Dalam negosiasi itu, pihak Al-Azhar menghitung, biaya
makan penghuni untuk satu bulan (sekali makan tiga kali) adalah LE 500 yang
saat itu setara dengan U$D 50. Angka ini
tidka serta merta diterima oleh KBRI, dimana KBRI berusaha menekan biaya
tersebut agar maksimal hanya antara LE 200-300/bulan, sebagaimana biaya hidup
di luar asrama.
Pada 6 Maret 2017, KBRI Cairo melakukan pertemuan dengan
perwakilan mahasiswa, PPMI dan WIHDAH, sebagai organisasi induk Masisir. Dalam pertemuan
ini, PPMI menyatakan, diperkirakan bahwa mahasiswa hanya bersedia membayar tak
lebih dari LE 150/bulan biaya makan di asrama. Hanya saja, setelah aspirasi
tersebut disampaikan kepada Al-Azhar, pihak Al-Azhar tidak dapat menerima
tawaran tersebut, sebab dalam hutungan mereka, LE 150-300 per bulan, sangat
tidak cukup untuk biaya makan satu bulan.
Mengingat minat mahasiswa baru yang ingin studi di
Al-Azhar semakin meningkat setiap tahun, pada pertemuan tersebut disepakati
juga agar mahasiswa baru TA 2017/2018 yang akan menempati asrama tersebut.
Penempatan ini akan terus sambil dievaluasi dan KBRI Cairo akan terus
memperjuangkan agar ke depan ada subsidi dari pusat untuk para penghuni
asrama.
Lagi-lagi melihat kondisi ekonomi Mesir yang kurang
stabil, kurs Pound Mesir pun turun secara drastis. Pada bulan Mei lalu KBRI
mendapatkan surat dari Al-Azhar, bahwa pada TA 2017/2018 yang dimulai
Agustus-September 2017 ini, akan ada penyesuaian biaya makan di dalam asrama
(mengkuti kurs U$D) dari semula LE 560 menjadi LE 785 atau hampir setara dengan
U$D 50. “jika ada kelebihan dari uang yang dibayarkan penghuni, pasti akan
dikembalikan kepada para penghuni, sesuai kurs LE ke U$D yang berlaku saat itu”
imbuh Atdikbud. Selain itu, KBRI terus mengupayakan mencari sumber untuk
subsidi makan di asrama tersebut, baik dari pemerintah maupun kalangan swasta.
Dan jika subsidi tersebut didapatkan, maka kelebihan uangnya akan dikembalikan
kepada para penghuni yang sudah membayar.
Dalam brafaks ke-3 yang dikirim pada 4 Juni 2017, Al-Azhar
berharap asrama ini akan jadi model, sebab asrama Indonesia ini merupakan
asrama asing pertama yang ada di dalam lingkungan al-Azhar, dengan penghuni
yang akan digabung antara mahasiswa Indonesia dan Mesir. Adapun rancangan
sementara mengenai program asrama adalah akan adanya pembimbing serta fokus
kegiatan, orientasi dan pembinaan dari masyayikh al-Azhar yang akan lebih
diperhatikan.
Adapun mengenai pembayaran di awal, didasarkan kepada
kondisi asrama-asrama Al-Azhar, dimana saat ini pihak yang bertanggung jawab
memasak di asrama-asrama tersebut merupakan perusahaan catering yang membuat
kontrak dengan Al-Azhar. Jadi pembayaran uang tersebut akan diserahkan kepada
Al-Azhar, lalu Al-Azhar akan menyerahkannya kepada pihak catering yang
mengelola. Selain itu, pihak Al-Azhar berpandangan bahwa membayar sekaligus
satu tahun, akan sangat memudahkan proses pengelolaan ke depan. “Hemat saya, jika
ada keluhan yang dirasakan para wali camaba perihal pembayaran secara sekaligus
satu tahun (U$D 600), dapat disampaikan, sehingga kita dapat mengupayakan pembayaran
tidak harus sekaligus untuk satu tahun, misalnya minimal 6 bulan” imbuh
Atdikbud.
Atdik juga mengingatkan, al-Azhar as-Syarif sudah sangat
banyak berkontribusi bagi Indonesia. Tak heran para mahasiswa berdatangan ke
Mesir, bahkan sejak sebelum kemerdekaan sudah banyak pelajar Indonesia belajar
di sini. Fasilitas asrama, kuliah gratis, beasiswa penuh, bahkan sampai tiket
pulang, semua itu merupakan kontribusi besar Azhar. "Kebaikan hati al-Azhar
sudah nyata dirasakan pelajar kita, bahkan sejak sebelum kemerdekaan,"
ujar Atase Pendidikan KBRI Kairo.
Reporter Vivi Noviantika
Reporter Vivi Noviantika
No comments:
Post a Comment